Negara Rugi IDR 193,7 Triliun AKIBAT Korupsi di PT. Pertamina, Kejagung: 'Kemungkinan Lebih.'

Edisi: 1069
Halaman 3
Integritas |Independen |Kredibel

       Potret: KT|Properti

JAKARTA, KUPANG TIMES - Kejaksaan Agung, mengatakan, Kerugian Negara akibat dugaan korupsi minyak di Pertamina bisa saja lebih besar dari IDR 193,7 Triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan, Agung Harli Siregar, mengatakan, angka IDR 193,7 Triliun tersebut merupakan kerugian negara pada 2023 saja. 

sedangkan waktu terjadinya perkara tersebut, dari 2018 hingga 2023.

"secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya, berarti, kan, bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih."|Harli (Kapuspenkum Kejagung), kepada awak media di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu, (26/02/25). 

Harli, mengatakan, dari awal Kejaksaan sudah mengatakan bahwa; angka IDR 193,7 Triliun itu adalah kerugian sementara. 

Harli, menyoroti beberapa komponen dalam kerugian negara tersebut. 

"misalnya; apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya.?"|Harli (Kapuspenkum Kejagung)

Harli, mengatakan, hal tersebut perlu dicek, misalnya; apakah kompensasi tersebut berlaku setiap tahun, apakah subsidi nilainya tetap per tahun, dan sebagainya. 

"tentu ahli keuangan yang akan menghitungnya."|Harli (Kapuspenkum Kejagung)

cukup tahu • sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkap ada kerugian keuangan negara sebesar IDR 193,7 triliun di kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) periode 2018-2023. 

Kerugian bersumber dari berbagai komponen, seperti; kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri serta impor minyak mentah melalui broker. 

"Impor BBM melalui broker, juga pemberian kompensasi dan pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi."|Qohar (Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung), di Gedung Kartika Kejagung, Senin, (24/02/25)

Sebanyak 7 (tujuh) orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. 

3 (tiga) di antaranya, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan • Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI), Sani Dinar Saifuddin • dan Direktur PT. Pertamina Internasional Shipping, Yoki Firnandi.

Kejagung menemukan adanya pemufakatan jahat antara penyelenggara negara dan broker. 

dari pihak Penyelenggara Negara, yakni; Sani, Yoki, Riva dan tersangka Agus Purwono Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).  

sementara pihak broker, yakni; Beneficial Owner PT. Navigator Khatulistiwa, Muhammad Keery Andrianto Riza, • Komisaris PT. Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT. Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati • dan Komisaris PT. Jenggala Maritim sekaligus PT. Orbit Terminal Merak, Gading Ramadan Joede.

dalam memenuhi kebutuhan minyak mentah Indonesia, PT. Pertamina wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri. 

Hal tersebut tercantum di Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018. 

Beleid itu juga mengharuskan PT. Pertamina mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi. 

sebaliknya, KKKS diwajibkan menawarkan produksi minyak mentahnya ke PT. Pertamina sebelum diekspor.

Jika dalam penawaran itu PT. Pertamina menolak tawaran KKKS, itulah yang dijadikan dasar KKKS untuk mendapat persetujuan ekspor. 

Namun, yang terjadi adalah penolakan tawaran tidak timbul secara alami, melainkan sudah di skenariokan, supaya KKKAS bisa ekspor dan Sub Holding PT. Pertamina bisa impor.

dengan menempuh jalur ekspor, keuntungan yang didapat KKKS lebih tinggi. 

sebaliknya, PT. Pertamina justru harus mengeluarkan uang lebih banyak karena memilih impor. 

Abdul Qohar, mengatakan, kebutuhan minyak dalam negeri memang terpenuhi. 

namun, diperoleh dengan cara melawan Hukum.

"Komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."|Qohar (Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung)

dan hal tersebut, mengakibatkan meningkatnya pemberian kompensasi /atau subsidi BBM dari pemerintah.

Berikut, rincian kerugian negara di kasus tata kelola minyak mentah, antara lain:

1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam Negeri sekitar IDR 35 Triliun, 

2. Kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar IDR 2,7 Triliun, 

3. Kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar IDR 9 Triliun, 

4. Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar IDR 126 Triliun, 

5. Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar IDR 21 Triliun.

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.

Informasi Artikel:

| Konteks: Hukum, 

| Penulis: W.J.B

| Sumber: Kejagung, 

| Penerbit: Kupang TIMES

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®