Edisi: 991
Halaman 3
Integritas |Independen |Kredibel
JAKARTA, KUPANG TIMES - Janji Kapolri di era kepemimpinannya, yang mengutamakan pendekatan humanis, terbukti gagal.
Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian tidak sekedar menyasar kalangan masyarakat sipil, tapi juga sesama aparat keamanan lainnya.
Amnesty International Indonesia, mencatat, periode Januari-November 2024 ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain: 29 Kasus Pembunuhan di luar Hukum • 28 Kasus Intimidasi dan Kekerasan Fisik • 26 Kasus Penyiksaan • 21 Kasus Penangkapan Sewenang-wenang • 7 Kasus Penggunaan Gas Air Mata dan Meriam Air, yang tidak sesuai Prosedur • 3 Kasus Penahanan Incommunicado • Pembubaran Diskusi dan Penghilangan Sementara, masing-masing 1 Kasus.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, percaya, Kasus yang tidak terdata, pasti lebih banyak lagi.
Kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terus berulang sepanjang waktu.
misalnya: Kasus Penembakan sesama Anggota Kepolisian yang terjadi di Polres Solok Selatan belum lama ini.
Perkara serupa, pernah terjadi dalam kasus mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
apalagi Kekerasan Aparat Polisi terhadap kalangan masyarakat sipil, relatif lebih banyak terjadi secara berulang, antara lain: dalam merespons demonstrasi damai yang dilakukan mahasiswa dan buruh.
Usman, juga menyoroti Kekerasan Aparat Kepolisian terhadap Massa Demonstrasi Damai 22-29 Agustus 2024 di 14 Kota.
Demonstrasi dengan tagar PeringatanDarurat tersebut, mengusung sejumlah isu, antara lain: menolak revisi UU Pilkada yang ditengarai membuka jalan bagi anak bungsu Presiden Jokowi, yang berkontestasi dalam perhelatan Pilkada Serentak 2024.
“setidaknya 579 orang warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian aksi protes yang terjadi 22-29 Agustus 2024 di 14 kota yang tersebar di 10 provinsi,
kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian selalu berulang, karena minim akuntabilitas, sehingga tidak ada efek jera bagi pelakunya,
ada persepsi di kalangan kepolisian yang menilai kritik warga kepada pemerintah melalui demonstrasi /atau aksi protes lainnya merupakan ‘ancaman,'
selain itu, Komitmen Negara untuk melindungi hak Warga Negara sangat rendah, termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai,
Kepemimpinan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, bertanggung-jawab terhadap minimnya akuntabilitas dan reformasi kepolisian,
sehingga salah satu dampaknya kekerasan aparat kepolisian selalu berulang,
Kebijakan yang diambil Kapolri Listyo Sigit, dinilai sangat politis, terkesan melindungi kebijakan yang diterbitkan pemerintahan Presiden Jokowi,
sehingga, protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah kerap menghadapi kekerasan aparat kepolisian,
Copot Kapolri Listyo Sigit,
masih banyak Jenderal Polri lainnya, yang lebih punya kemampuan dan pengalaman yang lebih baik ketimbang hanya kedekatan dengan Jokowi.”|Usman (Dir. Eksekutif Amnesty International Indonesia) dalam diskusi Hari HAM Sedunia 2024, Senin, (09/12/24).
Usman, menilai, hubungan Listyo Sigit dan Presiden Ke-7 RI, Jokowi sangat dekat,
Ketika Listyo Sigit menjabat sebagai Kapolres Kota Solo tahun 2011, Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo.
Kedekatan tersebut, yang membuka peluang besar Listyo Sigit diangkat menjadi Kapolri pada tahun 2021.
"Walau Jokowi telah lengser dari jabatannya sebagai Presiden,
tapi Listyo Sigit sampai saat ini belum tergeser posisinya sebagai Kapolri.”|Usman (Dir. Eksekutif Amnesty International Indonesia)
Usman, mengatakan, hal itu agak lain, karena biasanya setiap pergantian kepala pemerintahan, sejumlah pucuk pimpinan Lembaga Negara juga ikut diganti, seperti; Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN dan lainnya.
Jika tidak ada pergantian Kapolri, indikasi kuat kebijakan pemerintahan saat ini tidak berubah, sama seperti; pemerintahan sebelumnya.
“Janji Kapolri bahwa era kepemimpinannya mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal,
Masyarakat yang sedang aktif-aktifnya menyuarakan haknya justru dibungkam, serta disalahkan dengan alasan yang dicari-cari,
ini mencerminkan bagaimana pemolisian saat ini adalah pemolisian otoriter-represif bukan demokratis-humanis.”|tegas mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir Said Thalib itu.
Reformasi Kepolisian Terhambat,
di tempat yang sama, Dosen Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengingatkan Pasal 30 UUD 1945 menulis; TNI dan Polri sebagai ‘Alat Negara’ dengan masing-masing tugas dan fungsinya.
selain itu BIN juga disebut sebagai ‘Alat Negara’ dalam melalui UU.
TNI dan Polri sebagai ‘alat negara’ artinya; tidak boleh digunakan sebagai ‘Alat Kekuasaan.’
“Tapi pada praktiknya berantakan karena yang kita lihat sekarang jauh dari kenyataan,”|Bivitri (Akademisi)
Bivitri, mengatakan, Kekerasan Kepolisian yang terus berulang harus dibongkar menyeluruh.
salah satu penyebabnya, karena tidak ada pertanggung-jawaban.
Pelaku kekerasan kebanyakan disanksi etik, bukan pidana.
Ironisnya, dalam beberapa waktu terakhir, perwira kepolisian yang terlibat dalam perkara Ferdy Sambo malah mendapat promosi jabatan.
Kelindan kekuasaan dalam institusi Polri, tidak lagi menjadi rahasia.
misalnya: penggunaan aparat keamanan dalam kegiatan politik dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Bahkan beberapa waktu ini muncul istilah ‘partai cokelat (parcok)’ untuk menyebut keterlibatan kepolisian dalam politik praktis pemilu.
“Reformasi kepolisian terhambat karena ada kepentingan politik dan ekonomi,”|Bivitri (Akademisi)
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Gufron Mabruri, mencatat, sejumlah masalah yang menyebabkan kekerasan aparat kepolisian berulang.
Padahal tidak sedikit aturan yang memberikan panduan bagi anggota kepolisian dalam bertindak, seperti; Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Perbaikan yang harus dilakukan terhadap institusi kepolisian ke depan terdiri dari banyak lapisan.
Terutama soal pengawasan dan akuntabilitas.
Setiap kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian harus diselesaikan secara akuntabel dan transparan.
Pengawasan terhadap Polri tak hanya dilakukan secara internal tapi juga lembaga eksternal.
“Aparat yang melakukan kekerasan tak hanya diproses etik, tapi juga pidana.
Untuk mendorong ke depan kasus yang sama tidak berulang,”|Gufron Mabruri (anggota Kompolnas)
Gufron, mengingatkan, saat ini, Polri menyusun rencana strategis 2025-2045.
Hal itu membuka peluang bagi masyarakat sipil memberi masukan untuk perbaikan institusi Polri.
Kekerasan yang dilakukan aparat polri harus dihentikan secara sistem.
BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan Kejujuran.
• Informasi Artikel:
| Konteks: Hukum,
| Penulis: W.J.B
| Sumber: Amnesty Internasional Indonesia, Kompolnas, Bivitri Susanti (Dosen HTN Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera),
| Penerbit: Kupang TIMES