Indonesia Peringkat Ke-2 Ketidakjujuran Akademik.?

Edisi: 847
Halaman 3
Integritas|Independen |Kredibel

       Potret: tco|Properti

KUPANG TIMES - Guru Besar abal-abal di Indonesia, sudah ada, sejak masa Orde Lama. 

semua itu berawal pada tahun 1958 silam, Kejaksaan Agung menahan seorang pria, yang mengaku bernama Profesor. Djokosutomo M.A., Pendiri Universitas Majapahit, yang berlokasi di Kebayoran Lama, Jakarta. 

di Universitas tersebut, Djoko mengangkat dirinya sebagai "Presiden" dan "Guru Besar."

saat diperiksa oleh penyidik Kejagung, Djoko, mengatakan dan mengaku, dirinya hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR). 

"Gelar" M.A. diujung namanya adalah kependekan dari Marto Atmodjo. 

dengan gelar palsu tersebut, Djokosutomo, berhasil menipu 7.000 orang yang terdaftar sebagai Mahasiswa di Univ. Majapahit. 

dari mahasiswa /atau korban tersebut, Djoko, menangguk IDR 75 Ribu per-bulan, nominal yang besar, mengingat harga emas di tahun itu IDR 86 per-gram. 

namun, sesungguhnya, yang dirugikan bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dunia pendidikan. 

Profesor palsu akan melahirkan sarjana imitasi. 

satu kepalsuan akan melahirkan kepalsuan kuadrat. 

dan hari ini, para Profesor ecek-ecek masih berkeliaran. 

mereka (para Profesor ecek-ecek) mendapatkan gelar tersebut, tidak lagi memakai cara Djokosutomo, melainkan melalui pintu belakang jalur akademik. 

syarat menjadi Profesor, yakni; menulis Karya Akademik di Jurnal Ilmiah Internasional, bereputasi sebagai penulis pertama. 

melalui jalur ilegal, mereka mempublikasi tulisan di Jurnal Predator, yaitu; jurnal yang menayangkan tulisan tanpa tinjauan sejawat. 

berikutnya, mereka main mata dengan asesor di Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yang menilik pemenuhan syarat menjadi Guru Besar. 

Kegilaan akan Gelar Guru Besar tersebut, tidak lepas dari cara berpikir Pemerintah yang sungsang. 

sejak 6 (enam) tahun lalu, Pemerintah berambisi mencetak banyak Guru Besar, supaya jumlahnya mencapai 20% dari total dosen. 

tujuannya adalah untuk mendongkrak peringkat pendidikan Kita yang sedang terpuruk, antara lain: karena jumlah Profesor hanya sekitar 2% pada tahun 2022 lalu. 

kebijakan pendidikan Kita, yang mengukur segala hal secara kuantitatif tersebut, akhirnya menciptakan "pasar."

mereka yang kebelet menjadi Guru Besar, bertemu dengan para pengasong gelar akademik. 

berdasarkan hasil Investigasi TEMPO, ditemukan 11 (sebelas) dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menjadi Guru Besar, melalui jalan pintas. 

bagi mereka, jabatan akademik bisa mendatangkan dua hal, yaitu; Pengakuan dan Penghasilan. 

dengan menjadi Profesor, mereka juga mendapatkan pengakuan akademik sekaligus memperoleh tambahan periuk nasi, dari gaji di kampus /atau jabatan lain di pemerintahan. 

motivasi pejabat, seperti; Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sufmi Dasco Ahmad, yang telah berstatus Profesor di Univ. Pakuan, Bogor, Jawa Barat. 

dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Bambang Soesatyo, yang sedang mengajukan permohonan Gelar Guru Besar di Univ. Borobudur, Jakarta, titel Profesor sepertinya dikehendaki untuk mendapatkan pengakuan sebagai intelektual. 

bagi pemburu status Guru Besar semacam itu, gelar mungkin bisa meninggikan harkat dihadapan orang lain. 

Psikologi tersebut, sejalan dengan pandangan Koplak sebagian masyarakat, yang menganggap gelar Profesor sebagai manusia setengah dewa yang harus disembah. 

kata "Prof" menjadi penghias yang berharga untuk disematkan di kartu nama. 

makin panjang titel di depan dan belakang nama, mereka merasa semakin intelek, meski kenyataannya mungkin tidak lebih dari "telek" belaka. 

apapun motivasinya, ketidakjujuran akademik, telah merusak dunia pendidikan dan membuat nama baik Indonesia semakin terpuruk. 

Vit Machacek dan Martin Srholec, Peneliti dari Republik Ceko, mencatat, Indonesia berada di Peringkat Ke-2 dalam hal Ketidakjujuran Akademik setelah Kazakhstan. 

catatan tersebut, didasari dari Penelitian terhadap berbagai Jurnal Predator, sepanjang tahun 2015 hingga 2017.


Tahun 2023 lalu, Nahuel Monteblanco, Presiden Asosiasi Ilmuwan Peru, juga melakukan penelitian terkait ketidakjujuran akademik, mencatat,Peneliti Indonesia sebagai "Kolaborator yang patut dicurigai."

dari zaman Djokosutomo hingga Kiwari, Profesor abal-abal tidak raib dan menjadi aib dunia akademik Kita. 

untuk memberantasnya, selain memperbaiki sistem, PERTAMA, stop memanggil Guru Besar sebagai "Prof." 

KEDUA, kepada mereka yang Guru Besar asli /atau betulan, kecuali untuk kepentingan akademik, misalnya; dalam upacara pengukuhan /atau sidang akademik, panggilan "Pak" dan "Bu" jauh lebih egaliter dan tetap menunjukkan rasa hormat. 

adapun kepada para Guru Besar abal-abal, panggilan "Prof" sebaiknya diganti dengan "Pret" berasal dari makian "Kampret."

BERSUARA KERAS untuk Demokrasi dan Keadilan dan, Kejujuran. 

| Narasi: Pendidikan, Sosial, 

| Text: W.J.B

| Sumber Literasi: tco, 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®