REVIEW Film: "Women from Rote Island,"

Edisi: 701
Halaman 3

Photography: Women from Rote Island|Properti

KUPANG TIMES - Film Women from Rote Island akhir-nya bisa di-tonton secara luas di layar lebar setelah sibuk tayang di berbagai festival film internasional.

usai Women from Rote Island di-nobatkan sebagai Film Cerita Panjang Terbaik FFI 2023, rasa penasaran saya terhadap film tersebut langsung melonjak.

"memang-nya seperti apa, sih, film itu,"

"hingga bisa mengalahkan film anu.?"

Jujur saja, saya punya jagoan lain untuk nominasi paling prestise dalam ajang penghargaan tersebut.

Juga, karena saya sama sekali tidak punya informasi yang cukup, terkait film Women from Rote Island tersebut.

namun, saat saya menonton bersama isteri saya, di Bioskop Cinepolis Lippo Plaza Kupang, hari ini, Minggu, (25/02/24), rasa penasaran saya akhir-nya terjawab sudah. 

rasa-nya, saya kini menjadi paham, alasan Women from Rote Island di-nobatkan sebagai Film Terbaik FFI tahun 2024.

Seperti judul-nya, Women from Rote Island, menceritakan tentang kisah para perempuan di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang menjadi korban kekerasan seksual dan juga patriarki yang masih kental di daerah tersebut.

Martha (Irma Novita Rihi), seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pulang ke kampung halaman-nya di Rote Ndao, untuk menghadiri pemakaman ayah-nya, Abram (Iwan Rame Hau), yang di-semayamkan selama 8 (delapan) hari.

Jenazah Abram di-buat menunggu lebih dari seminggu karena istri-nya, Orpa (Merlinda Dessy Adoe), yang tetap kukuh, mengatakan, kepada keluarga-nya bahwa; Martha bakal pulang dari Malaysia. 

Orpa melawan keluarga-nya, karena keputusan-nya itu adalah permintaan terakhir mendiang suami-nya.

Namun, saat Martha menjejakkan kaki-nya di rumah lagi, dia tidak terlihat seperti biasa-nya. 

Martha terlihat depresi dan ternyata menyimpan trauma yang berat, karena menjadi korban kekerasan seksual oleh majikan-nya di Malaysia.

alih-alih mendapatkan bantuan agar pulih, Martha justru berlanjut menjadi korban kekerasan seksual oleh manusia-manusia bejat. 

dan tidak hanya Martha, keluarga-nya pun juga menghadapi kesulitan lain-nya, yang begitu kompleks. 

saat nonton Women from Rote Island, memaksa dan mengharuskan saya, untuk melepas kacamata sebagai orang kota yang sudah jauh dari adat. 

Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak pandang bulu.

bisa terjadi di mana saja, kepada siapa saja.

Namun, tampak-nya persoalan menjadi lebih pelik, terutama jika keluarga-nya masih menjunjung tinggi nilai adat.

Para perempuan itu, tidak hanya menghadapi stigma dan diskriminasi dari orang-orang sekitar, tapi juga berbenturan dengan nilai adat.

sepanjang pemutaran film tersebut, penonton juga di-tampilkan sejumlah adegan-adegan yang mengajarkan orang "Kota" bahwa; kasus kekerasan, tidak semudah tinggal lapor ke polisi /atau bikin thread agar viral. 

para korban, harus menuruti tata cara adat dalam menangani permasalahan.

kesal rasa-nya, saat menyaksikan bagaimana para perempuan itu menjadi tidak berdaya melawan kemalangan-nya masing-masing, seperti; Orpa yang berusaha melawan adat dan patriarki demi melindungi anak-nya, Martha yang memiliki trauma berat, hingga Bertha yang bernasib buruk.

Perasaan yang saya rasakan itu terbentuk berkat akting para aktor yang sangat meyakinkan. 

meski-pun mereka semua tidak memiliki pengalaman berakting yang baik, tapi kemampuan mereka tidak kalah dari aktor yang sudah punya daftar panjang filmografi.

sebagai aktor pemula yang di-hadapkan dengan film penuh drama yang banyak air mata dan emosi meledak-ledak, akting para aktor, sangat luar biasa. 

tidak bisa di-pungkiri, saya ikut terbawa perasaan dalam beberapa adegan berkat akting yang mumpuni.

Performa yang maksimal itu tidak terlepas dari arahan sang sutradara, Jeremias Nyangoen. 

Kolaborasi antara Jeremias dan profesionalisme para aktor, terutama dalam adegan-adegan eksplisit, patut di-acungi jempol.

tidak lupa dengan pengambilan gambar sinematografer Joseph Fofid yang di-dominasi dengan one take dan long shot sehingga mampu menangkap emosi dan adegan yang lebih raw.

tetapi, saya sedikit terganggu dengan teknis tersebut di-atas, karena risiko-nya membuat beberapa pergantian babak dan angle menjadi berantakan dan tidak mulus.

selain itu, saya rasa keputusan yang baik dengan tidak mengambil banyak beauty shot lanskap Rote, yang biasa-nya di eksploitasi pembuat film lain di daerah-daerah eksotis. 

dan Keputusan itu membuat penonton tidak terdistraksi dan tetap fokus pada konflik.

Pada akhirnya menurut saya Women from Rote Island mampu menangkap betapa "horor" menjadi korban kekerasan seksual dan patriarki.

terkait dengan akhir film yang terlihat tidak "happy ending" dan tidak "selesai," saya rasa, itu tidak masalah. 

rasa-nya itu-lah penggambaran sebenar-nya dari dunia nyata.

Entah di Rote /atau di mana pun kita berada, kasus kekerasan seksual memang tidak pernah menemui titik terang. 

Perjuangan korban mencari keadilan pun masih jauh dan akan terus berlanjut.

       Potret: W.J.B |Properti

| Narasi: Artistik, Budaya, 

| Text: W.J.B

| Sumber Literasi: Women from Rote Island Official, W.J.B, Cinepolis Lippo Plaza Kupang, 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®