NADA SANG PEMUJI

Edisi: 513
Halaman 3

NADA SANG PEMUJI

       Foto: Pixabay|Properti

Namaku Marcello, ibuku memanggilku dengan singkat "Cello." 

Aku pernah bertanya ke orang tuaku kenapa namaku Cello, mereka pun menjawab,"biar hidupmu bernada, kadang kamu akan ada di nada yang tinggi, namun kamu juga harus siap jika kamu ada di nada paling bawah,"

"Tapi intinya, hidupmu harus selalu indah, seindah suara musik Cello," kata ibuku.

lanjut aku menggerutu, tapi aku kan tidak punya suara yang bagus; dengan cepat ayahku menjawab; "kamu bisa bernyanyi, suara bisa bagus kalau kamu mau berlatih,"

dan sejak saat itu, aku putuskan untuk berlatih vocal. 

Haripun berganti, keinginan untuk punya suara yang bagus terus ada dalam benakku.

Sampai, suatu ketika ada seorang teman yang mengajakku ikut berlatih dalam suatu komunitas paduan suara gereja. 

Kemudian aku meminta ijin kepada ayahku dan tanggapan ayahku cuma satu,"tepat sekali, berlatihlah dengan semangat bukan untuk orang, tapi untuk Tuhan," 

Pesan ayah menjadi peganganku, walau aku pemula tapi aku melakukannya untuk Tuhan, biar Tuhan yang mengubah lewat usahaku. 

Akhirnya aku bergabung dengan paduan suara gereja, dalam kelompok tenor. 

Aku mendapat teman baru, dan selain itu juga dapat ilmu vocal cara bernyanyi yang baik.

Kesukaanku untuk terpanggil sebagai seorang pemuji mulai aku rasakan. 

Latihan demi latihan sesuai jadwal latihan aku lalui, sampai tiba saatnya paduan suaraku akan melakukan pelayanan di suatu gereja.

Perasaan gugup dan senang bercampur, ohh Tuhan tolong mampukan aku, ini pengalaman pertamaku.
 
dan Puji Tuhan, pelayanan perdana bersama paduan suara dapat aku lalui. 

Namun, setelah selesai pelayanan, ada satu sesi yang tidak aku duga, terdengar seruan dari salah seorang senior, yang berkata; "Ayoo kumpul kita evaluasi.!!" 

"ini evaluasi apa ya, tanyaku dalam hati.?"

Perasaan tertekan, terhakimi, dan bersalahpun aku rasakan, ketika dalam evaluasi pelatih paduan suara tidak puas dengan nyanyian pada saat pelayanan tadi.

Kelompok tenor jadi sorotan karena vocal yang tidak bagus, dan terlihat, mata teman-teman tenor mengarah kepadaku, tiba seorang senior kelompok tenor bergumam; "siapa lagi kalo bukan Cello penyebabnya," dan didengar oleh kelompok suara yang lain, akhirnya semua mata tertuju padaku. 

Namun, dengan bijak, pelatih menetralkan ketegangan tersebut, dengan berkata; "ini jadi pengalaman ya, harus latihan lebih baik lagi,"

Perasaan senang dan sukacita yang harus aku bawa pulang ke rumah berubah menjadi perasaan sedih dan kesal. 

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamar dan mengunci diri. 

Pemandangan raut muka yang aku tunjukan jadi perhatian ayahku. 

Pintu kamar diketuk dan aku membukanya.

Ayah membawaku ke sisi tempat tidur dan bertanya, "kenapa mukamu murung.?"

"Bukankah kamu baru pulang pelayanan, ada apa.?"

Akupun menceritakan semua yang terjadi.

Setelah bercerita, ayahku tersenyum dan kemudian menenangkanku dengan sedikit mengingatkanku akan pesannya.

"Ya, maklum kamu baru seminggu ikut latihan, berlatihlah terus sampai kamu diubahkan Tuhan oleh usaha dan semangatmu, untuk menjadi seorang pemuji,"

"dan ingat, lakukanlah untuk Tuhan, bukan untuk manusia," 

Sejak saat itu semangatku menggebu-gebu, berlatih dengan keras, dan akhirnya aku menjadi seorang tenor yang sangat diandalkan. 

Tapi aku lakukan ini bukan untuk pelatih dan teman-teman paduan suara /atau untuk orang lain, TAPI UNTUK TUHAN.

Pesan Moral: 

"tidak ada yang instan, harus ada dorongan dan kemauan dalam hati untuk berlatih,"

"Suka dan tidak suka, saling menyalahkan, perbedaan pendapat adalah dinamika dalam sebuah kelompok paduan suara untuk membentuk mental kita,"

"untuk siapa kita bernyanyi, untuk siapa kita bersekutu, untuk siapa kita melayani.? 
LAKUKANLAH  ITU  UNTUK TUHAN"

written: Mr. Muzeis

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®