Tanpa judul

Edisi: 347

KUPANG TIMES

Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, Telah Melampaui Batas Kewenangannya, dalam Mengadili Perkara PMH secara Perdata, Partai Politik PRIMA vs KPU RI.!

Oleh:

DR. Nicholay Aprilindo B., S.H., M.H. M.M.

Akademisi, Praktisi Hukum dan Advokat

Sepekan terakhir ini, Publik ramai  perbincangkan sikap Pemerintah, Akademisi, Pakar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, Perihal Putusan Tingkat Pertama dalam Perkara Perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jakarta Pusat, antara Partai Politik PRIMA vs KPU RI.

Di-mana Keputusan Majelis Hakim yang mengadili Perkara Perdata tersebut memberikan Putusan yang Kontroversial.

Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, terlihat melampaui batas kewenangan mengadilinya, tanpa mempertimbangkan dampak Politis, Sosiologis dan dampak Hukum dari Putusan tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan Politik, Instabilitas Politik, Hukum, Ekonomi dan Keamanan.

Karena demi kepentingan satu Partai Politik, yakni; Partai Politik PRIMA, Putusan Majelis Hakim PN Jakpus, mengorbankan kepentingan Politik, Hukum, Ekonomi Dan Keamanan, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, yang telah di-atur dalam Konstitusi UUD 1945 dan UU Pemilu.

Putusan Majelis Hakim PN Jakpus, juga sangat mengganggu instabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan Demokrasi sesuai cita-cita Reformasi 1998 dan cita-cita kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Dan, Putusan Majelis Hakim yang mengadili Perkara Perdata tersebut, juga di-luar ekspetasi dan kewenangan mengadili berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, untuk itu perlu di-lakukan upaya Hukum atas putusan tersebut dengan alasan-alasan Hukum sebagai berikut:

1. Putusan PN Jakpus (Tingkat Pertama), sangat aneh karena memuat kekuatan eksekutorial yang tidak lazim, dan oleh karena Gugatan Perdata dan Pengadilan yang mengadili merupakan peradilan Perdata biasa karena adanya PMH, yang menurut Penggugat, Partai Politik PRIMA, di-lakukan oleh Tergugat, KPU RI,

Untuk itu, Putusan Majelis Hakim, dapat di-lakukan upaya Hukum terhadap Putusan tersebut, walau-pun di dalam Amar Putusan, mengadili; dalam pokok Perkara, Butir Ke-6, di-sebutkan:

"Menyatakan putusan perkara ini dapat di-jalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);

Namun, tidak menutup upaya hukum lain dalam tingkat banding maupun kasasi, karena putusan Perdata PN Jakarta Pusat tersebut,

Tidak dalam kategori putusan yang berketetapan mempunyai kekuatan mengikat secara menyeluruh /atau "Final and Binding,"

Putusan tersebut hanya mengikat Kedua Pihak yang bersengketa, Partai Politik PRIMA dan KPU RI, sehingga KPU RI dapat melakukan upaya Hukum Banding sampai pada tingkat Kasasi.

Dan, putusan tersebut tidak mempengaruhi tahapan Pemilu, seperti; yang telah di-tetapkan UU Pemilu No. 7 tahun 2017, beserta Keputusan KPU No. 21 tahun 2022 dan Keputusan KPU No. 3 tahun 2022, serta Konstitusi Pasal 22 E UUD 1945.

2. Majelis Hakim sangat Obscur dan melampaui batas kewenangannya dalam membuat Putusan dalam Perkara tersebut, karena gugatan yang buat Partai Politik PRIMA adalah gugatan Perdata PMH berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (BW), yakni; gugatan perbuatan melawan Hukum biasa bukan dalam hal Perjanjian, artinya; keputusan tersebut, hanya mengikat para pihak yg berperkara, tidak mengikat semua orang (erges ormes).

3. Karena Hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili Perkara Perdata Partai Politik PRIMA vs KPU RI sudah melampaui batas kewenangannya /atau kompetensinya, maka secara logika Hukum:

"Sengketa yang terkait proses, administrasi, dan hasil Pemilu itu sudah di-atur tersendiri dalam Hukum dan UU Pemilu No. 7 tahun 2017,"

"Di dalam Pasal 134 HIR, "Jika perselisihan suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan Pengadilan Negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat di-minta supaya Hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan Hakim-pun wajib mengakuinya karena jabatannya,"

"hal tersebut menyangkut Kompetensi mengadili yang di-bagi, berdasarkan Pasal 118 HIR dan kewenangan Absolut (attributie van rechtsmaght), yang di-atur di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,"

Bila melihat gugatan Perdata dari Partai Politik PRIMA melawan KPU RI tersebut adalah sengketa atas keputusan pejabat Tata Usaha Negara, sehingga kompentensinya berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), bukan di Pengadilan Negeri.

Demikian halnya bila terjadi sengketa sebelum pelaksanaan Pemilu (pencoblosan), jika terkait proses admintrasi yang memutus adalah Bawaslu berdasarkan UU PEMILU No. 7 tahun 2017 yang juga mengatur tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban Bawaslu.

Apabila pokok persoalan soal keputusan kepesertaan Parpol dalam Pemilu hanya bisa di-gugat ke PTUN.

4. Khusus untuk Partai Politik PRIIMA sudah pernah mengajukan gugatan tersebut di Bawaslu RI dan kalah, demikian pula sudah pernah mengajukan gugatan di PTUN dan kalah lagi di PTUN.

Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi dalam proses Pemilu, sebelum pemungutan suara.

5. Apabila sengketa tersebut, setelah pemungutan suara /atau sengketa hasil Pemilu maka yang menjadi kompetensi adalah Mahkamah Konstitusi.

6. Kompetensi Pengadilan Negeri, tidak di-atur di dalam UU untuk mengadili Perbuatan Melawan Hukum secara Perdata, terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang di-keluarkan oleh KPU RI dalam hal Pemilu, dan tidak bisa di-jadikan objek sengketa secara perdata terhadap KPU RI, dalam proses dan pelaksanaan Pemilu.

7. Hukuman Penundaan Pemilu beserta semua prosesnya tidak bisa di-jatuhkan dalam oleh PN Jakpus, Kasus PMH secara Perdata.

Tidak ada Hukuman Penundaan Pemilu, yang bisa di-tetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Secara perdata.

8. Berdasarkan UU PEMILU No.7 Tahun 2017, tentang Penundaan Pemungutan Suara dalam Pemilu, hanya bisa di-berlakukan oleh KPU RI untuk daerah-daerah tertentu, yang bermasalah, dengan alasan spesifik, tidak untuk seluruh Indonesia, dengan alasan bila di daerah yang mengalami bencana alam, yang menyebabkan Pemungutan Suara tidak bisa di-lakukan, dan bukan berdasar Putusan Pengadilan Negeri secara Perdata, akan tetapi menjadi wewenang KPU RI, untuk menentukannya sampai waktu tertentu.

9. Putusan PN Jakpus, tidak bisa di-minta eksekusi, karena tidak mempunyai Kekuatan Hukum mengikat pada semua orang (erges ormes), dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara Hukum dalam artian "Final & Binding," sehingga dapat di-lakukan perlawanan secara Hukum, melalui upaya Hukum Banding sampai pada Kasasi.

10. Secara Sosiologis, rakyat dapat melakukan perlawanan Hukum mau-pun perlawanan secara Politis, di-karenakan kedaulatan ada di-tangan rakyat secara keseluruhan dan hak di-adakan Pemilu berdasarkan Konstitusi UUD 1945 adalah Hak Politik dan Hak Keperdataan Rakyat secara absolut.

Oleh karenanya, bila ada upaya-upaya untuk mensiasati terjadinya penundaan Pemilu berdasarkan UU yang berlaku dan berdasarkan Pasal 22 E, UUD 1945, itu adalah Inkonstitusional dan melawan Kehendak Rakyat serta melawan Hak Asasi Demorasi Rakyat.

Demikian Ulasan Hukum, terkait Putusan Hukum dari Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, dalam Gugatan Perdata Partai Politik PRIMA vs KPU RI.

Semoga bermanfaat dan menjadi tambahan referensi tulisan Hukum anda.

Silakan, Simpan, dan Diskusi.

                 Iklan

|Narasi: Politik, Hukum, Pemerintah, 

|Teks: W.J.B, H.F F.B & Tim

|Sumber Literasi: DR. Nicholay Aprilindo B., S.H., M.H. M.M., 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2022 The Kupang Times Newsroom.com ™ Design By The Kupang Times Newsroom.com ®